Oh
yah, anggap saja namaku Alvi, pria 27 tahun. Hmm, bagaimana aku harus
menjelaskan diriku yah? Hmm, kalian tahukan, untuk buang angin yang
tidak kelihatan saja, aku malu untuk sombong ke orang lain, apalagi
untuk identitas aku yang kelihatan. Jadi maaf yah, aku sembunyikan
detail-detail khusus. Jadi jangan berusaha menebak-nebak yah, walaupun
ini kejadian nyata. Dan kalau berharap untuk kisah Superman bermain
seks, sepertinya lebih bijak untuk click ke cerita yang lain. Ini cuma
kisah nyata sederhana yang diceritakan dengan sopan, setidaknya itulah
yang bisa kulakukan untuk menghormati kaum Ibundaku.
"Sialan, kamu cantik banget, huahaha." Iya, aku masih ingat kata-kata
spontan yang keluar waktu pertama kali kenalan dengan Zefa-nya. Anya
seorang model dan banyak prestasi di bidang yang berhubungan dengan
kecantikan (no list okay). Tidak, tidak seperti bidadari, cuma teman
abangku. Dan aku tidak macam-macam dengan teman abangku, kecuali mencoba
untuk membuat suasana yang akrab dengan membuat sambutan yang
menyenangkan. Amat disayangkan untuk penggemar fisikisme pasti amat
tidak menyenangkan kalau aku tidak mampu menceritakan tentang fisik Anya
sedetail-detailnya. Lagi pula aku bukan tukang jahit yang membawa
meteran kemana-mana. Tapi Anya setinggi dahiku, dan tinggiku 179 cm. Aku
akan buang waktu untuk menjelaskan kecantikannya. Sediakan saja syarat
fisik wanita cantik idaman kamu, fisik Anya akan memenuhi syarat kamu di
atas tiga perempatnya. Lupakan kalau berpikir langsung adegan ranjang,
kalau langsung demikian, aku sudah berangkat ke Hollywood menggantikan
Tom Cruise.
Untuk waktu yang panjang, aku sibuk dengan diriku sendiri, demikian juga
dia. "Ih, hebat banget ada bunga yang bisa mencet bel," kataku kepada
anjingku, tapi sambil cuek kubukakan pintu untuk Anya. Iya, sore itu
Anya muncul di rumahku, sambil berbicara imut sekali juga senyum-senyum
dengan anjingku dari luar pagar. Dia suka sekali anjing, demikian
ceritanya sambil berdiri di halaman. Satu hal yang menarik adalah anjing
yang dia miliki adalah hanya seekor anjing kampung betina, biasa saja
bukan. Yang penting adalah bagaimana merawatnya, bukan jenis apa anjing
itu, demikian penjelasannya. Anya sebenarnya ingin mengembalikan
beberapa barang yang dipinjamnya dari abangku, tapi kebetulan abangku
tidak ada. Kami jadi tertawa-tawa dan membahas bunga-bunga mawar dan
bunga matahari yang ada di tamanku. Aku memang kadang abdi rumah tangga,
soalnya aku 'kan cuma tinggal berdua satu rumah, jauh dari Ayahanda dan
Ibunda.
Anya mengajakku untuk makan malam dan menemaninya undangan perkimpoian
anak dari rekan bisnis ayahnya. Satu hal yang membuat kami tertawa
sepanjang malam itu adalah kami mengenakan satu warna yang sama, yaitu
merah maroon. Anya mengenakan gaun malam terusan yang menutup ketat
tubuhnya, sementara aku mengenakan kemeja merah maroon juga. Seperti
kembaran dan banyak orang-orang yang menyapanya menanyakan hal itu.
Tidak ada cerita jorok, cuma menceritakan satu moment yang membuat kami
dekat.
Oh yah, sebelum menuruniku dari mobilnya, dia mengucapkan terima kasih
kepadaku untuk membuat dia tertawa dan tersenyum. Itu merupakan
kombinasi make-up yang pas untuk wajahnya, katanya. Terus kujawab juga
bahwa kalau aku ini ada keturunan super hero juga, sama-sama membasmi
kesedihan dari muka bumi ini juga. Kuajak wanita yang sedih untuk makan
siang dan membuatnya tertawa. Begitu deh kira-kira. Dan suatu kehormatan
besar buatku, waktu dia tertarik untuk makan siang denganku. Kami
akhirnya sering jalan bareng. Melakukan hal-hal bodoh yang kuajarkan
kepadanya. Hal-hal tolol yang sebelumnya belum pernah ia lakukan dalam
hidup. Keluar kota hanya untuk curhat kepada seekor kerbau, memandang
awan, mengunjungi dan berdoa ke kuburan seseorang yang tidak kami kenal,
berkebun bersama, iya itu termasuk mengajarinya mencangkul, mencuci
mobilnya, mengajarinya melukis, berjalan kaki malam-malam bersama
anjingnya, dia jago bernyanyi. Aku jago gitar, paskan.
Sampai suatu saat aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri. Apa benar
aku cowok yang paling tolol dan bodoh sedunia. Teman-temanku selalu
mengatakan hal itu tiap kali aku menjelaskan bahwa aku tidak berbuat
apa-apa dengan Anya. Bayangkan waktu itu, aku dengan Anya slow dance,
tanpa musik, berdua di kamar kost mewahnya. Hanya suara dia menggumamkan
lagu-lagu tidur. Mata indahnya terpejam damai, dan Anya seringkali
menempelkan pipi putih halusnya ke dadaku, bernafas di leherku. Mulut
halus dan hidungnya ditempelkan lembut menyuarakan lagunya dengan
terkadang membisikkan khayalan-khayalan masa depannya.
Iya anda benar kalau bilang aku cowok tolol. Aku tidak mengambil
tindakan apa-apa tuh, kecuali aku diamkan tanganku di pinggangnya, cuma
seringkali aku menempelkan pipiku ke rambutnya untuk mencium aroma
rambut Anya yang wangi itu. Itu saja. Herannya aku malah sibuk sendiri
untuk mengatur langkah kakiku. Cowok aneh 'kan. Aku terangsang sekali,
aku tidak munafik. Tetapi selalu terpikirkan bahwa aku bukan binatang
yang mengumbar nafsu kapan dia mau. Dan hanya karena aku terangsang,
sungguh bukan suatu alasan yang pantas untuk tidak menghormati wanita
yang di depanku.
Sampai suatu waktu aku dan Anya pergi ke perpustakaan besar bertingkat
di kampusku. Semula tujuannya memang hanya untuk rileks sambil
tertawa-tawa membahas orang lewat dari tempat duduk sofa di ruang tunggu
perpustakaan itu. Namun aku sempat mempertanyakan hal kebodohanku
sebagai pria pada Anya. Yang memang kadang mengganggu.
Tiba-tiba saja Anya bangkit dari bersandar santainya, "Mana cowok yang
paling tolol sedunia itu?" Tanpa menunggu komentarku dengan ekspresi
heran, Anya memegang pipiku dan mengecupku di bibir. "Alviii, emang kamu
tolol banget, tapi kalau aku suka, terus kenapa?" tanya Anya sambil
memiringkan kepalanya dengan ekspresi nakal menantang, sementara aku
lebih sibuk untuk memperhatikan orang-orang yang melihat ke arahku dan
Anya. Aku cuma cengar-cengir saja salah tingkah. Kemudian Anya
menyuruhku diam dan menyuruhku untuk menyimak. Anya seakan bernafsu
sekali untuk mengutarakan hal ini, sampai dia membalikkan tubuhnya
menghadap ke arahku.
"Dengerin, aku tuh bosen tau diperlakukan seperti piala trophy. Aku bosan diperebutkan."
"Cuma kamu yang terlalu bodoh untuk tahu bahwa yang ada di depan kamu bukan piala."
"Orang bilang aku cantik, makasih. Tapi asal kamu tahu saja Vi, aku juga
kehilangan banyak teman hanya karena kecantikan itu. Okay aku malu dan
sebel untuk ngungkapinnya, tapi kalau pakai bahasa film, aku akan bilang
jangan benci aku hanya karena aku cantik."
Anya sedikit kembali tersenyum kemudian melanjutkan isi hatinya tetapi
kini agak melembut. "Alvi, kamu masih inget waktu kita slow dance. Aku
sebenernya cuma pengen ngetest kamu, apa sih yang sebenernya kamu mau
dariku. Tapi yah karena kamu bodoh waktu itu, kamu tidak aku tampar."
Aku masih ingat jelas kata-kata Anya seperti ini, walaupun diucapkannya
dalam bahasa Inggris. Sekilas mungkin berkesan sombong, tapi andaikata
Anya yang bicara rentetan kata di atas, lalu membandingkan dengan
kecantikannya, aku tidak menganggapnya sombong. Sepanjang sore itu Anya
mengeluhkan banyak hal seputar masalahnya dengan pria, cinta dan tentang
kehidupan. Aku sendiri hanya menyediakan kuping yang baik untuk
mendengarkan.
Singkatnya, sepulang makan malam Anya ke rumahku yang kosong karena
Abangku pergi ke luar kota. Setelah aku mandi, Anya berniat untuk mandi,
karena memang ia selalu membawa pakaian cadangan dalam mobilnya. Aku
menunggunya dalam kamarku, dengan celana pendek dan kaos tipis baju
tidur. Tadinya aku pikir erotis sekali kalau mendengarkan suara-suara
Anya mandi. Tapi berpikir soal ditampar, lebih baik aku menunggu di
bantal-bantal besar kamarku sambil menatap bintang-bintang dari fosfor
yang kutempel di atap langit-langit kamar. Bersender pada bantal di
dinding, dengan lampu belajar yang kuredupkan segelap mungkin melihat
pada bintang yang menyala itu. Bukan munafik, cuma aku lebih beranggapan
kalau mencuri-curi kesempatan seperti itu sama saja mati kawan, atau
seperti mencuri sesuatu dari teman sendiri. Itu saja.
"Al... Alvi..." panggil Anya lembut.
"Kamu ngapain?" tanya Anya lembut membuka pintu kamar.
Aku hanya membesarkan lampu, kemudian memberi isyarat untuk menyuruhnya
duduk di karpet sebelahku. Aku berlaga acuh dengan rok mini yang
dipakainya dengan baju satin putih ketat tanpa lengan. "Bagus khan!"
kataku sambil melihat ke atas, sementara Anya lebih sibuk untuk mengatur
bagaimana agar bantalku tidak basah dengan rambut lurusnya yang
setengah basah. Lalu tanpa mempedulikanku, Anya menyandarkan punggungnya
ke dadaku, sambil mengambil satu tanganku untuk dibawanya melingkar di
perut kecilnya.
"Lucu," katanya sederhana, sambil mengambil posisi santai untuk melihat
ke atas dengan mengadahkan kepalanya di samping leherku. Terus lama deh
sepertinya kita berdua bengong. Sambil cari bahan omongan, kucoba untuk
meng-gombal iseng, biar buat lucu suasana.
"Nya, aku sering nanya loh kalau aku mau tidur. Kira-kira aku di bintang
yang mana yah, kalau aku bisa pergi ke bintang-bintang itu."
"Hmm... sepertinya sekarang aku bisa jawab deh, mau tahu dimana?" tanyaku tanpa menoleh.
Anya hanya tersenyum menggenggam erat jari jemariku, lalu sepertinya ia
penasaran juga, "Dimana Viii..." aku cuma sok senyum imut cengar-cengir
sendiri untuk meyakinkan bahwa jawabanku cukup norak tapi romantis. Hmm,
kujawab, "Disitu!" Kini Anya menoleh keheranan dengan jawabanku. "Iya
di situ Nya, si samping kamu di salah satu dari bintang itu." Aku sih
tertawa ngakak, merasa betapa noraknya aku. Tapi malah Anya hanya
tersipu malu menunduk, lalu merubah posisinya untuk mengelus halus
pipiku. Malah kini Anya memeluk badanku dan merebahkan kepalanya di atas
bahuku.
Tanganku hanya bergerak spontan untuk menyambut jari-jari halus di
pipiku itu. Menggenggamnya dan kutaruh lagi di pipiku. Anya hanya
memejamkan matanya, dan aku yakin bahwa ia tidak tertidur karena
jempolnya tetap bergerak lembut mengelus pipiku. "Hmm... kamu ngantuk?"
tanyaku sok lembut, sambil mengambil rambut Anya dan menaruhnya kembali
ke belakang telinganya. Anya hanya menjawab tidak dengan pelan. "Kamu
santai saja yah Nya, kalau kamu mau tidur, ya tidur. Kamu dapet kunci
kok. Terus kalau kamu nonton TV yah nonton. Pokoknya buat kamu sesantai
mungkin," kataku merayu. Jujur, aku mulai bawel untuk merocos tidak
karuan. Dada lembut halus lembut Anya itu loh menempel hangat di dadaku.
Paha putihnya ditumpuk di atas pahaku. Jempol tangan mengelus halus di
bawah telingaku. Nah, aku sadar aku salah tingkah berat, merocos sok
perhatian dan basa basi tidak karuan. Itu satu-satunya pertanda aku
benar tidak konsentrasi sekali.
Sementara yang kulakukan hanya berulang kali menaruh rambut di
telinganya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku mengelus-elus
rambutnya yang tepat di samping kiri pipiku. Kata-kata tidak jelas itu
akhirnya berhenti, waktu Anya pelan memanggil namaku, "Alvi..." Yang
kutebak sih sepertinya Anya juga tidak mendengarkan omonganku saat itu.
"Vi, sebelum aku lupa. Anya cuma mau bilang, Anya seneng ketemu kamu.
Anya sayang kamu Vi." Aku tidak jelas rangkaiannya, tapi aku yakin
kalimat itulah dan teman-temannya sejenis kalimat itu yang Anya ucapkan
dengan lirih manja. Betapa dia tidak ingin kehilanganku, betapa dia
ingin bersamaku terus dan tebak sendiri deh. "Nya... Anyaaa..." aku coba
menyebut namanya makin keras, aku tiba-tiba saja jadi sebal sendiri.
Aku mulai membetulkan dudukku, sambil membangunkan Anya dengan mendorong
halus bahunya. Anya keheranan melihat sikapku seperti itu. Aku tahu itu
pasti. "Ssst..." aku melipat jari jemariku dan menyatukan kedua
telunjukku di depan mulut untuk membuatnya diam, aku diam. "Biar kubuat
sederhana untuk kamu ngerti." Aku jadi emosi. Kira-kira begini yang
kubilang, "Anya, hmm... jangan bilang sayang atau cinta denganku deh,
please," kutatap memohon kepadanya.
Sebelum dia sempat bicara, kupotong dengan isyarat telunjukku untuk
menahan protesnya. "Ssst..." Bagiku, kalimat itu artinya sama dengan
kubakal kehilangan. Seseorang bakal pergi dari hidupku. Seperti tipuan
menyenangkan dari kalimat selamat tinggal. Aku malas ah, capai,
dibohongi. Aku sudah lama berhenti untuk percaya kata-kata itu."
Sensitif yah aku. Aku berlaga sok asyik saja menengok-nengok ke atas.
Sementara Anya sepertinya juga jadi serba salah deh dengan menundukan
kepalanya ke samping. Yah, jadi hening deh saat itu. "Hmm... okay, kalau
kamu tidak pengen Anya ngomong gitu, Anya ngelakuin sesuatu saja deh,"
kata Anya yakin. Anya merubah duduknya berhadapan di sampingku. Ia
menunduk memainkan jemarinya sendiri sesaat, sebelum memajukan kepalanya
untuk memelukku. Kepalanya direbahkan di samping leherku di sisi yang
berlawanan dengan duduknya. Sementara aku hanya membuka lipatan
tanganku, tanda orang pasrah. Melihat Anya yang terpenjam tersenyum
halus. Yang bisa dilakukan adalah melipat kakiku untuk jadi sandaran
tanganku untuk menopang kepala Anya yang dilemaskannya itu. Beneran deh,
aku deg-degan. Entah bingung atau tidak jelas deh. Bayangkan, bibir
Anya itu di bawah daguku sedikit. Kalau aku menunduk, pasti kejadian
deh, pikirku takut-takut begitu.
"Yah, kalau Anya tidak boleh bilang sayang kamu, jadi Anya bilang saja,
Alvi yang sayang Anya. Hihihii..." kata Anya merajuk pelan melucu.
Sepertinya strateginya berhasil deh untuk memecahkan keheningan,
buktinya aku tertawa tuh. Tapi suasananya jadi hening lagi. Aku tetap
menyenderkan kepalaku ke atas. Tanganku, yang jadi senderan kepalanya,
hanya mengelus-elus rambutnya. Dan yang satu lagi, cuma aku telungkupi
saja di pinggang. Payah deh aku, kok aku mulai ngelantur lagi, tapi kali
ini serius sih maksudku. Tapi beneran deh aku tidak konsen habis.
Soalnya jemarinya Anya loh yang satu itu ada di belakang leherku, dan
jempolnya itu mengelus-elus belakang kupingku juga.
Akhirnya aku mengucapkan rangkaian kalimat ini dengan campur baur antara
gentle dan cengengesan sendiri, "Nya... sorry, aku minta maaf untuk
kadang bohong ke kamu. Kadang aku tidak bisa jaga hormon. Hmm...
maksudnya, jujur aku seringkali punya pikiran jorok ke kamu, hihihi. Aku
cowok, dan seringkali aku tidak punya kuasa untuk nahan hormon-hormonku
lewat di otakku. Maaf kalau aku tidak bener-bener bisa jadi sesuatu
yang baik untuk kamu. Aku cuma pengen kamu tahu saja bahwa sebenarnya
aku tidak pernah bermaksud demikian, sorry okay." Anya cuma mengangguk
dengan suara tersenyum kecil. Entah apa maksudnya, aku menurunkan
kepalaku ke bawah. Karena takut kena bibir, aku saja yang langsung
inisiatif mencium keningnya duluan. Anya membuka sayu matanya. Lalu
dengan gerakan pelan juga ia merubah posisinya. Kedua jempolnya ditaruh
di belakang telingaku, menatap langsung mataku tepat dari hadapannya.
Semula aku kaget, tapi karena kulihat ada sekilas tarikan senyum kecil
di ujung bibir tipisnya, aku cuma bengong, menunggu kejadian berikutnya.
Gila, gila, aku deg-degan banget. Aku sempat menundukan lirikan mata ke
bawah, tanda aku kalah bertatapan dengan mata besarnya. Sorotannya itu
loh. Dia melihat, malah memperhatikan bola mataku. Matanya bergerak ke
kiri dan kanan. Kadang sesekali dia melihat ke bibirku. Dia balik lagi
melihatiku. Bibir bawahnya itu kadang digigit, dibasahinya bibirnya atau
malah dikatupkan keduanya dengan cepat. Aku mencoba menebak banyak hal
dengan cepat, aku berpikir, tapi kalimat jujur yang coba kuungkapan
adalah aku tidak tahan sekali untuk menahan gairah di perasaanku. Aku
mungkin juga sama kacaunya dengan Anya, dalam detik-detik itu dalam
jarak muka yang dekat sekali. Anya melihat ke bibirku, mungkin juga
memiringkan kepalanya hanya sedikit juga memajukannya. Namun kembali
cepat ke posisi kepalanya semula. Walaupun semua gerakan itu mungkin
hanya dalam hitungan mili, tapi bagiku itu merupakan bahasa yang
mengisyaratkan sesuatu. Namun sebesar gairahku itu, sebesar itu pula
ketakutanku ditolak. Deg-degan, gerakan kepala, mata yang mulai sayu
menutup, mulut yang diam terkatup lemas, hirupan-hirupan nafas, entah
apalagi. Semua itu rasanya bagai sebuah okestra keras yang mengantarkan
kecupan pertamaku ke bibir Anya.
Sekilas ia sempat menunduk, Anya kembali terpejam. Aku sepertinya telah
melepaskan diriku pada naluri. Aku sudah jadi hamba naluri saat itu. Aku
mengecupnya lagi dengan membiarkan bibirku lembut menempel di sana.
Adalah hal yang indah untuk diterima menjadi bagian dari orang lain. Dan
itu menyenangkan. Itu yang kurasakan waktu bibir Anya membuka. Aku
senang untuk begitu besarnya rasa penerimaan itu. Lidahku ibarat anak
kecil yang baru menyaksikan sebuah taman bermain baru yang indah. Untuk
pertama ia diam di sana, dan kemudian ia menemukan teman bermain baru di
sana. Berkomunikasi dengan bahasa sederhana yang jujur, dimana tidak
perlu kuliah, ijazah dan uang untuk bisa melakukan berdansa gembira
dengan lidah. Sepertinya lidah itu ingin saling berpelukan di dalam
sana, saling menyambut dan ingin saling bicara. Berusaha menebak,
melayani, menyambut. Berkomunikasi dengan cara yang baru yang
menyenangkan, dan dalam. Sesekali saling tertunduk dan melanjutkannya
lagi.
Anya mengusap-usap belakang kepalaku, dan tangan sesekali turun ke bawah
untuk menelapakkannya di depan dadaku. Dia bicara dari tekanan-tekanan
lembut telapaknya dan usapan-usapan jemarinya itu. Jemariku juga bicara
lewat usapan-usapan lembut di belakang telinganya. Sementara tanganku
berjalan lembut dengan punggung jari, membelai, mengusap lembut pada
perutnya. Berjalan mengusap dengan ujung-ujung kuku, ke pinggang, menuju
punggungnya. Berputar pada bagian bawah lengan atasnya, berbelok-belok
pada ketiaknya, dan menuju jalan menurun di samping dadanya. Berjalan
mundur ke ketiaknya dan menikung tajam ke lehernya bagian depan. Aku
mengelusnya lama di sana, sekali-kali menukik ke bawah, ke tengah
dadanya. Aku cuma ingin tanya sebenarnya apakah jemariku cukup berkenan
untuk menyentuh dimensi pribadi kewanitaannya yang halus menempel di
dadanya.
Tidak perlu orang jenius, untuk tahu Anya memberikan ijinnya kepadaku
saat ia membusungkan dadanya. Tapi aku tidak mau jadi tamu yang
menyelonong masuk dengan kasar. Sepertinya basa basi yang menyenangkan
jika aku mengusap-usap lembut saja dari luar pakaiannya. Merasakan
permukaannya pada keduanya dengan halus. Baru setelah itu satu jari
telunjuk memimpin untuk mulai masuk ke balik bra berenda itu. Yah,
kalian tahulah apa yang dicari jemariku di balik bra itu. Aku cuma bisa
bilang bahwa merasakan putingnya yang besar, tapi lembut, tidak mengeras
seperti permen kenyal. Cuma itu sih yang aku rasakan, soalnya dari tadi
aku lebih sibuk untuk berciuman. Kissing-nya aku suka sekali, dan aku
lebih menikmati konsentrasi ke situ daripada mengobok-ngobok liar.
Bahkan kini, sekitar mulutku agak dingin dengan air liur yang menguap.
Tapi sebagai cowok, kalau aku sih haus loh kalau ciuman kelamaan begitu,
maksudnya yah kering saja. Kutarik tanganku keluar untuk mengecup
kening Anya, sambil pamit sebentar mengambil minum.
Waktu aku kembali, Anya duduk di pinggir tempat tidurku dan lampu
kamarku sudah diterangkan. Sambil duduk di sebelahnya, aku menuangkan
air es untuknya. Sementara dia minum, aku mengambil bantal bersender di
ranjang. Anya duduk merapatkan dadanya di depanku. Kajadian saling
mencumbu yang hampir serupa dengan di atas terulang hampir mirip
situasinya. Hanya bedanya kini Anya sudah mulai berani untuk
menyelusupkan tangannya ke balik baju tipisku. Jari lembutnya bermain
selancar di atas perutku. Dan aku senang sekali untuk dapat mainan baru.
Sebuah gitar baru, yang aneh bentuknya. Gabungan saxophone dan gitar,
dengan kemampuan sangat interactive sekali. Tapi 'saxophone'-nya
dikulum, sangat berdimensi manusiawi, tidak seperti polygon di komputer
3D. Itu makanya jariku menikmati sekali untuk menelusurinya. Walaupun
Anya masih seperti kado yang belum dibuka. Aku senang untuk bersabar
menikmati kemasan sebuah kado sebelum membukanya. Bahkan sampai pada
telapak kaki Anya, kuraba-raba di sana, bermain di antara jemari
kakinya, memijat dan menggaruk. Bagian yang terbagus dari dirinya adalah
dia hidup. Hmm, bukan menyamakan Anya seperti barang, cuma berusaha
untuk menggambarkan betapa ia begitu hidup dan begitu nyata di
pelukanku.
Kini Anya mengatakan sesuatu lewat jari kelingkingnya yang sesekali
masuk terselip ke bawah karet celanaku. Entah aku peka dengan bahasa
kecil ini atau memang aku yang niat. Aku hanya mengangkat karet celanaku
dan membiarkan jemari Anya untuk menentukan sikapnya sendiri. Jemari
itu merambat halus untuk menuju sesuatu di sana. Sesuatu yang begitu
pribadi untuk dibagi.
Teramat banyak indera peraba di bagian pribadiku itu, sampai-sampai aku
terhenti mengulum bibir Anya, ketika jemari itu melewati bulu-bulu yang
halus. Mata kami saling menatap, saat jarinya mengusap kejantananku.
Tapi hanya diam tertelungkup di atasnya. Tanpa mengubah jemarinya, ia
menunduk. Aku harus menetralisir keadaan yang cepat itu. Kuucapkan
kalimat ini dengan nada berbisik menjelaskan, yakin, lembut dan rancu
pasti deh sepertinya, "Anya, Alvi tidak bermaksud untuk ngelukain kamu,
tidak. Santai saja. Ini punya kamu kok, kamu bisa tutup kapan saja kamu
mau, yang pasti aku tidak bermaksud ngelukain kamu kok. Santai yah
sayang yah." Lalu dengan satu gerakan yang singkat, aku melepaskan
celanaku melemparnya ke ujung ranjang, berikut celana dalamku. Kutahu
Anya menatapku pasti dengan ketakutan. Tapi aku dengan cepat menebar
selimut tebal yang memang ada di ranjangku, menutup dengkulku, setelah
bersender kembali ke dinding ranjang di samping Anya. Aku benar-benar
mendiamkan diriku, hanya tanganku yang kembali mengelus rambut Anya dari
belakang. Aku membiarkan Anya untuk mengambil keputusan berikutnya.
Anya menundukkan kepalanya dan merebahkannya di leherku. Jemarinya
membuat garis dari dada turun pelan dan berhenti di kejantananku yang
kaku tertidur di perutku. Aku tidak tahu persis apa yang ada di otak
Anya ketika meraba, mengusap, menekan, mencolek dan menggenggam
kejantananku itu. Sesekali juga ia menggesek-gesekkan jempolnya ke
lubang air seni, ya itu termasuk memainkan bagian biji zakar dan
bulu-bulu halus yang mengitarinya. Aku hanya berkali-kali mengangkat
pantatku, ketika sentuhan-sentuhan itu membawa paket-paket birahi ke
otakku. "Itu punya kamu sayang." Demikian kalimat yang bisa kulontarkan
berulang-ulang. Aku merasa dia sudah begitu santai. Satu komentar yang
dia ucapkan cuma satu, "Besar". Beneran dia cuma bilang itu, aku tidak
bermaksud menyombongkan kelamin. Aku sudah berhenti
membanding-bandingkan kelamin sejak aku sadar bahwa otak dan perasaanlah
yang bisa menaklukkan wanita, bukan dengan kelamin sebesar tugu Monas.
Iya tidak sih? Walaupun aku tahu Anya menikmatinya, tapi aku ingin dia
untuk tidak bosan.
Aku mengubah posisi untuk memeluk Anya dari belakang. Menata rambutnya
ke samping, lalu aku melepas bajuku sebelum menaruh bibirku ke
tengkuknya. Di sana banyak bulu halus yang berdiri. Yang perlu kulakukan
hanya meraba bulu-bulu itu dengan lidah tanpa mengenai kulitnya. Namun
sesekali aku menjilat panjang dengan seluruh lidah basahku, dari leher
bawah sampai ke belakang telinganya. Nafas hidung di telinganya, jemari
di perutnya, paha, pinggang belakang, bawah lengan dan ketiak. Anya
menengadahkan kepalanya ke atas, sebuah tanda untuk memberikan seluruh
bagian lehernya. Tangannya membelai-belai rambutku. Malah kadang kini
kedua pahanya yang dibungkus rok mini itu, sesekali membuka lebar ketika
jemariku meraba pahanya. Tapi aku tetap tidak menyentuh payudaranya
apalagi selangkangannya, itu ada waktunya sendiri bukan?
Anya tidak menolak untuk memudahkanku melepas kaosnya. Ia seperti
terkulai lemah. Tapi aku sempat untuk melihat kerisihannya. "Aku cuma
pengen kamu santai. Kamu rileks yah. Tenang, aku tidak ngelukain kamu
kok. Aku cuma pengen kita sama-sama nikmatin. Aku pengen kamu nikmatin
dan kamu lega bareng denganku. Santai yah." Sambil membisikkan itu, aku
membelai-belai rambutnya, mengusap pipinya dan menciumi keningnya. Dan
kulanjutkan dengan menciuminya secara halus di bibir tipisnya. Mungkin
karena itu, Anya sama sekali tidak menolak untuk membuka penutup
dadanya. Aku sendiri tidak yakin apa yang kulihat tentang payudara itu.
Sesuatu yang menggelembung tergantung menempel di dada Anya. Aku
kebingungan mendeskripsikannya. Bagiku sama saja seperti wanita normal.
Cuma sesuatu hal yang menarik dari buah kelaminnya, adalah bulu-bulu
halus yang tumbuh melebat di sekitar putingnya. Halus sekali. Titik
pori-pori yang halus membesar itu tersebar di sekeliling putingnya. Anya
menunduk malu, sesekali melihat dan menatap reaksi mukaku. aku cuma
bilang di sela mengatup kedua bibirku, "Hmm, makasih yah untuk jaga dan
ngerawat mereka buatku." Aku tersenyum, dan Anya menunduk tertawa kecil
sambil mengelus pipiku.
Kalian pasti tahulah, bagaimana sebagai pria, aku ingin langsung merawuk
buah-buah itu. Untung sisi-sisi feminim dari maskulinku mengingatkan,
bahwa dengan memperlakukan buah dada secara kasar bukan tindakan seorang
gentleman, kali loh. Ya sudah, aku berusaha untuk mengalihkan
perhatianku, sambil gombal. "Hmm, aku tahu sekarang Nya, darimana
keindahan mereka berdua berasal," kataku sambil meraba pakai ujung kuku
pada lingkaran luar buah dadanya. "Hmm..." Anya sudah malas bicara
sepertinya. Tapi dia menatapku. "Asalnya yah dari kamu," jawabku polos.
Anya tersenyum, "Kamu lucu." Kami tertawa. Padahal dalam hati aku sempat
ingin protes, "Memang Srimulat, lucu," tapi aku batalkan, karena aku
lebih penasaran dengan buah dada Anya. Kuputar-putarkan kukuku
melingkari buar dada itu. Aku senang sekali untukn mengusap-usap di
bagian bawah buah dada itu. Tanganku terus memainkannya, berganti kiri
dan kanan, sementara aku terus mengelus rambut dan telinga Anya dari
belakang. Mungkin Anya penasaran kenapa aku tidak menyentuh bagian
putingnya. Dia sampai mengangkat-angkat dadanya, sesekali memutar
dadanya kiri kanan, agar jariku tersentuh putingnya. Sedangkan tangannya
hanya mengusap-usap satu lenganku, dan satu pahaku. Aku akhirnya tahu
dia bertanya, karena dia 2 kali menatap bolak balik ke arahku terus ke
arah dadanya tanpa ekspresi.
Waktu dia melihatku lagi, kugaruk pelan agak tajam dari arah perut, naik
ke payudara bagian bawah dan langsung ke putingnya. Mau tahu reaksi
Anya? Anya langsung merem, menengadahkan kepalanya ke atas, menarik
nafas panjang di samping leherku, mengagetkan khan. Setelah bermain
seperti itu, aku mau memuaskan Anya, pikirku. Tidak ada penolakan waktu
membuka rok mini itu. Hanya karena Anya sudah agak malas berdiri, atau
mungkin bersikap manja. Anya hanya berusaha mengangkat pinggulnya, dan
aku menurunkan rok kecil itu. Celana dalam tipis putih itu masih ada
pada tempatnya. Aku mengusap-usap perut Anya seperti ingin menghangatkan
perutnya dengan kedua tanganku. Aku tahu Anya memperhatikan mukaku
sambil mengusap-usap belakang telingaku. Anya duduk bersender di dadaku.
Kupeluk dari belakang, tapi sambil bermain jemari di pusarnya. Sesekali
meraba paha bawah dan samping juga tengah. Aku membisikan kata-kata
ini, "Rileks sayang, rileks. Alvi pengen buat kamu lega. Alvi tidak
ngelukain kamu sayang." (Kalau dipikir-pikir lucu juga yah kalimatnya).
Tapi hasilnya adalah otot paha Anya yang kini sudah rileks membuka. Satu
kalimat yang jadi ide bagus buatku, untuk tema waktu itu adalah kalimat
Anya yang meniruku, "Itu punya kamu sayang. Punya kamu," katanya
berbisik lemah menggugah. Maksudnya yah, kemaluan Anya adalah milikku.
Aduh senangnya.
Mau tahu yang kulakukan? Satu tanganku memainkan puting Anya dari
belakang, sedangkan jemariku turun ke atas celana dalam Anya. Mudah
untuk mencari asal lendir-lendir halus itu berasal. Ada belahan halus
lembut di pangkal paha yang membasah. Aku hanya mengusapnya halus dua
arah. Tapi aku membisikkan terus menerus kata-kata ini ke telinga Anya.
"Tolong Nya, buat punya Alvi basah. Tolong keluarin punya Alvi, sayang,
please, tolong sayang. Tolong keluarin sayang, tolong. Keluarin punya
Alvi." Bisikan yang lembut tapi banyak artinya kan. Pertama-tama Anya
hanya bereaksi, sesekali mengangkat pinggulnya, mengejangkan otot
pantatnya. Namun lama kelamaan Anya mulai terpejam. Tangannya makin lama
makin kasar membelai kedua pahaku yang ada di sampingnya. Dan Anya
mulai menjawab berbisik pelan, "Iya, iya, Anya mau basahin punya kamu.
Punya kamu Anya basahin." Nafasnya mulai keras terdengar. Aku sempat
membesarkan suara bisikanku, jadi suara normal kalau lagi bicara. Dan
Anya juga makin cuek bereaksi. Dia jadi bervolume suara sekeras omongan
biasa. Tapi saat-saat itu rasanya seperti suara teriakan. Mungkin Anya
sudah susah mengontrol suaranya, kalau ia menengadah bersender pada
lenganku. Anya agak kuat bergerak, sehingga aku harus meletakkannya pada
pahaku dan tetap manahan kepalanya dengan lengan. Sehingga kini aku
juga kesulitan untuk membisikkannya.
Ekspresi Anya, ekspresi itu benar-benar tidak kulupakan. Mulutnya
terbuka. Seringkali otot-otot pipinya menarik mulut kecil itu seperti
ingin tertawa, namun dengan ekspresi seperti hendak menangis. Matanya
terpejam dengan kedua alis yang sepertinya ingin dipertemukan di antara
kedua matanya. Beberapa rambut menempel pada pipinya yang kian membasah
memerah. Menoleh ke kiri dan berbalik ke kanan. Sayang sekali, andaikata
mataku adalah sebuah kamera, itu adalah ekspresi yang diincar-incar
fotografer. Bukan untuk diedarkan loh. Aku cuma begitu terbawa sekali ke
dalam gambaran ekspresi itu.
Aku benar-benar amat tidak berpikir untuk mengeluarkan satu kosa kata
ini, "Please, mainkan kontol Alvi sayang." Kupikir itu kasar sekali yah,
ternyata Anya malah menjawab, "Anya mau mainin kontol Alvi." Kemajuan
yang baik bukan untuk nakal-nakal sedikit dalam sopan santun percakapan
kami. Semuanya amat ekspresif. Sampai suatu saat Anya, begitu tampak
bertingkah seperti orang yang menangis. Mengerang. Aku sampai terdiam
kaget, herannya tanganku tetap mengikuti kemana arah pinggulnya
mengejang. Diangkatnya tinggi. Menarik pinggul dengan mengangkat dadanya
tinggi-tinggi. Cengkraman kuat pada pahaku juga tarikan erat di
leherku. Ditambah dengan efek audio suara menangis sambil mengejang
tertahan. Itu bisa membuatku terangsang, hanya dengan mengingatnya saja.
Aku merasa saat-saat yang tinggi itu sudah lewat. Iya benar loh, tidak
sampai muncrat-muncrat sih dari celana dalam, cuma lebih basah dari yang
tadi.
Aku cuma bisa membenarkan rambut-rambut Anya yang basah menempel pada
wajahnya. Anya sepertinya lelah sekali dan bagiku tampak Anya lebih
mirip tertidur saat itu. Maka kuambil bantal dan menidurkannya, sambil
sebelumnya mengecup-ngecupnya berkali-kali pada keningnya. Aku sendiri
tiduran di sampingnya, mengamati wajah cantik itu. Mengelus-elus
wajahnya. Memperhatikan tubuh telanjangnya. Aku lebih konsentrasi untuk
merekam pemandangan itu, bukan memikirkan kemaluanku sendiri. "Makasih
sayang, untuk banyak hal. Kamu sudah ngasih aku kesempatan untuk
ngebantuin." Anya hanya senyum, di tengah mata sayunya. Mencubit
perutku.
"Kamu nakal," katanya.
"Kamu jago sih," kataku ngeles.
"Kamu tuh jago." kata Anya sambil nmegambil posisi untuk memelukku dari rebahannya.
"Eh, kamu kemana?" tanya Anya, waktu aku tiba-tiba bangun berdiri.
"Aku mau nangis," candaku, padahal sih aku cuma ingin mengambil minum, barangkali Anya haus.
Setelah minum basa basi, Anya kusuruh untuk terlentang lagi dan aku
memandang tubuhnya yang masih berselimut kecil sebuah celana dalam. Aku
hanya senyum-senyum menatap matanya, sambil senyum-senyum berdua. Aku
memangku daguku di atas kedua payudaranya, menatap sambil tersenyum pada
matanya dan kepada ujung-ujung putingnya. Lalu tiba-tiba aku punya ide
iseng saja. Aku duduk di samping Anya yang terlentang. Jemari-jemari
Anya kupegang dengan jemariku juga. Kuludahi perlahan satu putingnya
dari atas. Perlahan jatuh air liurku, menjadi sekumpulan air liur di
payudara lembut itu. Meludahi satu puting Anya yang lain. Air liur itu
berjalan turun perlahan. Namun sebelum sempat air liur mengalir turun ke
bawah, aku langsung dengan cepat menjilat kedua butir-butir liur itu
dengan telapak lidahku, sehingga menjadi basah buah dadanya. Semula Anya
agak keheranan menatapku. Tapi lama kelamaan Anya mengerti juga
rupanya. Kami jadi sama-sama tahu bahwa memang air liur akan membuat
risih jika terjatuh ke sprei ranjangku. Oleh karenanya Anya hanya
menatap, tetapi jemarinya meremas erat ketika saat kritis, menyuruhku
untuk cepat menjilatnya. Kadang ia juga memajukan dadanya untuk
mempermudah aku.
Yang bikin nafsuku, kadang ia agak mendesih. Sedangkan aku memperhatikan
kedua mata Anya, selain memperhatikan gumpalan-gumpalan air liur itu
yang mulai mengalir. Anya memperhatikanku menjilati, sementara aku tetap
memandangi saat menjilati air liurku. Sesekali kadang meniupi permukaan
payudaranya yang kini sudah basah semua. Kini perlahan aku mulai
meludahi perutnya juga bagian pusarnya. Kali ini aku sempat
senyum-senyum, soalnya perut itu datar. Bahkan sempat aku keluarkan
rayuan gombal spontan yang kalau dipikir-pikir norak juga sih, "Aku
seneng banget kalau kamu sedang nyihir aku seperti sekarang ini. Mau
terus dong disihir." Anya sempat ingin bangun untuk meng-kiss aku tapi
aku menahannya dengan menggenggam tangannya.
"Keberatan kalau aku buka?" tanyaku polos, sambil menunggu jawaban
dengan kedua alis terangkat, dan senyum sok imut begitu di pipiku. Anya
hanya menatap kosong kepadaku, tersenyum kecil dengan mengumpulkan kedua
bibirnya di depan seperti hendak mengingatkanku.
"Iya, itu berarti... atau...?" tanyaku sambil memberi isyarat menggeleng atau mengangguk.
Anya mengerjai aku. Jawabannya cuma dia merem, terus senyum memiringkan
kepalanya saja. Karena jelas aku tidak tahu jawabannya, dalam
detik-detik itu juga aku membuka pelan celana dalam Anya, sambil
menunggu reaksinya. Ternyata Anya tetap terpejam dan mengangkat
pinggangnya. Tetapi selebihnya Anya hanya meletakkan lemas kaki-kakinya,
sehingga aku sempat agak kesulitan.
Barulah kini pemandangan Anya tanpa material penutup tubuh, telah
terlihat di depanku. Sejenak aku sampai bengong begitu melihatnya, di
depanku ada seorang model, polos, dengan paha terbuka di depanku.
Benaran pikiranku sampai sempat kosong, tidak tahu harus berbuat apa.
Kewanitaannya benar-benar biasa saja. Bulu-bulu pada permukaannya hanya
halus teratur rapih. Aku tidak pernah menanyakannya, tetapi jelas
sebagai seorang model ia harus merapikan bulu-bulu itu, sok tahu aku
sih. Belahannya tidak berbibir, hanya sebuah garis rapat tampaknya.
Dengan kedua bukit pipi mungil yang mengapitnya.
Aku baru sadar waktu Anya membuka mata menatapku. Aku cuma bisa senyum
lalu menunduk sedikit. Aku salah tingkah sekali. Tapi mungkin Anya
menganggapnya berbeda. Dia bangun dari posisi tidurnya, mengambil daguku
perlahan. Lalu ia terpejam, meraba pipiku sambil berbisik, "Vi, ini
Anya." Terus kami berciuman lembut, tidak menjadi buas. Memang dasarnya
aku saja kali yah yang nakal, aku mulai menurunkan ciumanku ke arah
leher dada, menjilati ke dua buah dadanya. Tanganku terus meraba
punggung Anya. Anya hanya bersandar pada kedua tangannya, membiarkanku
memberi banyak kecupan basah pada dada yang bulat mengacung ke atas itu.
Mengindrai perut Anya dengan lidahku, juga menyenangkan untukku. Tapi
lama kelamaan jadi ketebak deh arah dan tujuannya, ya ke situ-situ juga
ujung-ujungnya.
Saat jilatan-jilatan lidahku sampai ke perut bawah, di bawah pusarnya,
Anya mengelus halus pipiku. Saat aku menengadah mencari tahu, Anya hanya
menggelengkan kepalanya sedikit. Suatu larangan bukan. Okay, dalam
hatiku. Jujur, padahal waktu itu aku kepingin sekali merasakan
cairan-cairan yang keluar dari kemaluan Anya. Pingin banget. Anya tetap
menempelkan jemarinya di pipiku, sambil ia sendiri mencari posisi untuk
tidur. Kutunggu Anya sebentar untuk sempat merapikan sebuah bantal dan
rambutnya sebelum ia menarik pelan belakang kepalaku untuk bercumbu lagi
dengan menidurinya. Ia menyambut dengan isyarat kedua tangan terbuka,
dan kedua paha yang dibuka untuk menyambutku. Aku merangkak pelan dari
bawah, saling menatap kosong pada kedua mata kami. Rambutku dielus, dan
sejalan dengan itu, tubuhku perlahan-lahan turun menindihnya. Ada
tempelan kedua payudara hangat di dadaku. Kemaluan kelakianku semakin
terasa hangat memanas diapit oleh kedua perut kami.
Aku begitu menikmati suasana itu, entah sepertinya aku dan Anya hanya
bertatapan kosong. Arah mata yang hanya saling bergerak ke kiri dan ke
kanan melihat kepada mataku dan dia. Tatapan itu benar-benar dalam, dan
aku juga benar-benar terbawa hanya karena tatapan itu. Dalam, iya itu
kata yang tepat. Aku bisa merasakan dada Anya bergerak. Denyutan
kemaluanku yang terapit itu juga bisa terasa pada perut kami. Aku
mengecup bibirnya sekali, lalu kembali menatapnya lagi. Anya hanya
menjalankan tangannya pada punggungku, berjalan-jalan pada titik
keringat yang kian tersebar dimana-mana. Tangan kecilnya mencoba
mencengkram bulatan pantatku. Menggaruknya sekali-kali. Kami terus
bertatap seakan tidak peduli apa yang terjadi di bawah karena kami telah
sama-sama mengetahuinya dari tatapan kami yang tanpa kata. Bahkan kini
Anya, menyelipkan tangannya di antara perut, menggenggam kejantananku.
Aku hanya mengangkat pantatku untuk memberikannya keputusan ke Anya, mau
dibawa kemana punyaku itu. Anya membawanya mendekati kemaluannya.
Kemaluanku sempat diraba-rabanya dahulu, bahkan sampai ke bagian biji
yang menggelantung di sana. Kemudian batang kemaluanku diusap-usapkan
pada ujung kemaluannya. Benaran aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku
rasakan waktu itu, soalnya aku hanya terus berpandangan tanpa pernah
melihat ke bawah.
Aku sempat memajukan pinggangku agar sedikit masuk di dalam bibir
vertikal itu, namun Anya menahannya. Itu aku rasakan waktu tangan Anya
yang berada di atas pantatku, tiba-tiba bergerak ke pinggangku. Jadi
akhirnya ya, kubiarkan aku menahan pantatku, agar Anya bebas bermain
dengan ujung kemaluanku yang memang besar pada bagian itu. Tak lama
setelah itu, Anya yang kian melebarkan bukaan pahanya. Dan di atas
pantatku terdapat dorongan kecil dari jemari Anya. Secara naluri aku
memajukan sedikit pantatku. Anya mengangguk kecil, seakan menjawab
pertanyaan mataku tentang keraguanku sendiri tentang kepastiannya untuk
melakukan ini. Aku hanya mengikuti bahasa Anya dari jemarinya yang ada
di pantatku dan satu lagi jemari yang memastikan posisi kelaminku pada
liang kemaluannya.
Aku hanya merasakan kepala kemaluanku ditekan kuat pada seluruh
permukaannya secara merata oleh kelamin Anya. Dan di ujung kelaminku,
aku merasa agak dingin. Anya menekan pantatku terus perlahan, dan
berhenti, kemudian mengisyaratkan menekan lagi. Aku hanya merasakan
melalui tatapan mataku, benaran aku sama sekali tidak melihat
kemana-mana. Aku bisa merasakan, Anya menarik nafas lewat mulutnya,
walau kadang seperti orang kepedasan sedikit. Aku bisa melihat otot
pipinya cepat tertarik seperti tertawa yang dibatalkan. Waktu sudah
dapat dipastikan bahwa setengah kelamin kami saling menyatukan diri,
Anya kini buru-buru menaruh kedua tangannya pada pantatku. Melebarkan
jemarinya menelungkup pada bundaran pantatku. Lalu tangan itu mendorong
pelan agak lama. Aku hanya mengikuti dorongan jemari itu, dan hasilnya
perlahan pasti semua kelaminku telah masuk bersatu dalam liang kemaluan
Anya. Dan dalam detik-detik itu, mata Anya memutih meredup, meskipun
tidak berkedip. Bola mata hitamnya menghilang ke atas yang mungkin
kenikmatan.
Anya kembali lagi menatapku dengan mulutnya yang terbuka tipis dan
sesekali dijilat. Satu kalimat Anya yang aku tidak lupa adalah, "Anya
ngerasa penuh dengan kamu." Aku tidak menjawab, benaran aku tidak konsen
habis. Aku ingin sekali langsung kugoyangi itu pantatku, wah pokoknya
doktrin gaya film porno di otakku banget deh. Aku sendiri juga heran,
kenapa akhirnya aku tetap diam saja yah. Tahu tidak apa yang membuat aku
berhenti dari pikiranku yang tidak-tidak itu. Tiba-tiba batang
kemaluanku dijepit tiga kali dengan Anya. Satu dua tiga. Masih saling
bertatap, tapi jelas aku tahu apa yang dia lakukan barusan di bawah
sana. Dari tatapanku seakan aku bilang, hayoo nakal yah kamu. Aku coba
menarik batang kemaluanku, agak terasa geli sedikit sih, lalu pelan
sekali aku masukan lagi. Sesuai tanda dari ibu guruku yaitu tangan Anya
yang ada di pinggang dan pantatku. Anya menjepit lagi di bawah sana dua
kali, lalu aku inisiatif saja menarik dan masukan pelan. Lama-lama jadi
konstan sendiri deh. Punyaku dijepit dua kali, lalu keluarkan dan
masukkan. Tapi kadang juga jadi ngaco juga sih. Anya juga jadi jarang
menjepit-jepit lagi. Cuma tangannya saja yang konstan untuk memberi
irama kapan aku harus menarik dan kapan aku harus memasukkan batang
kemaluanku. Aku jadi suka berimprovisasi, aku sekali-kali memutar
pinggangku, sehingga ber-efek seperti memutarkan kemaluanku waktu masuk
ke liang kemaluan Anya.
Oh yah, seringkali pada saat melakukan ini, tiba-tiba pandanganku jadi
hilang sama sekali. Tiba-tiba saja seperti aku tidak sadar, kadang
seperti hilang melayang. Kembali lagi untuk menatap mata dan wajah Anya.
Wajah Anya itu nafsuin banget deh, kadang dia memandang kosong ke
seputaran wajahku. Kadang ya itu dia sampai seperti orang teler sayu
matanya dan bola matanya menghilang ke atas. Mulutnya terbuka kalau
sudah seperti itu. Dan saat-saat menatap, bibirnya terbuka kecil dan
sering kali dibasahinya berulang-ulang. Atau malah kadang ia menggigit
kedua bibirnya. Yang paling aku suka sekali adalah raut wajahnya yang
tampak seringkali seperti menangis. Mulutnya terbuka tanpa satu katapun,
alisnya demikian mengkerut, matanya sayu dan seringkali tertutup.
Semula aku kaget melihat ekspresi ini loh. Tapi lama-lama aku tahu juga
kalau itu ekspresi dia. Aku juga heran, padahal ini tidak seperti film
porno loh iramanya. Bukan yang cepat-cepat begitu. Cuma pelan tapi
konstan, malah kalau bisa kubilang lebih lambat dari alunan kursi
goyang. Yah, aku kan cuma mengikuti perintah tangan yang ada di
pinggangku itu.
Aku tidak sempat menghitung berapa lama, aku terlalu dalam permainan
saling menatap itu. Lagi pula aku sepertinya tidak peduli waktu dalam
hal seperti itu, aku lebih mempedulikan seberapa dalam perasaan yang
dibagi dan saling memberi hati yang melayani. Bagiku dengan posisiku
yang berada di atas bukan berarti superior tentang kesombongan pria
menjajah wanita yang di bawahnya. Aku justru berpikir bahwa aku justru
melayani wanita. Itu makanya aku tetap berusaha untuk selalu
mempertahankan irama yang konstan. Walaupun jujur banget, bahuku sudah
sakit sekali. Aku mengganti banyak posisi tangan untuk menopang tubuhku.
Bahuku lama kelamaan pegal sekali. Tapi dengan melihat wajah Anya yang
merupakan gambaran kenikmatan dalam menyatukan kelaminnya, aku jadi
enggan berganti sikap. Aku juga ingin untuk menyudahi permainan ini. Aku
tahu bagaimana harus memulai sebuah permainan, tetapi tanpa pengetahuan
untuk kapan dan bagaimana berhenti, itu juga bisa jadi celaka. Seperti
mobil yang mampu mencapai kecepatan maksimum, tapi tidak punya teknologi
rem untuk berhenti, itu akan mencelakakan. Aku tidak ingin cepat-cepat
berhenti, bukan seperti layaknya pria perkasa yang berpikir kalau bisa
dua tahun yah dua tahun deh untuk tidak ejakulasi. Aku memberi semangat
untuk pada diriku sendiri untukm mencapai ejakulasi. Tapi aku juga
benar-benar kacau, bahuku pegel sekali. Semakin aku coba untuk ejakulasi
semakin aku tidak merasa apa-apa.
Pada saat-saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba Anya berbisik rancu,
"Vi, tolong lepasin punya Anya, Vi. Keluarin punya Anya, Vi." Ya, Anya
melakukannya lagi. Dia merasa seperti memiliki batang kemaluan yang ada
di tubuhku. Entah kenapa aku merasa terangsang sekali. Erotis sekali
dengar dan membayangkan maksudnya, bahwa aku terbayang saja memiliki
batang kemaluan Anya. Aku sih nafsu saat itu, tidak tahu deh kalau yang
lain. Sudah begitu, Anya terus mengulangi kalimat-kalimat seperti itu
sambil menatap sayu mataku. Bagaimana tidak tambah hormonku naik ke
kepala dengan kalimat-kalimat seperti, "Vi, kontolin Anya Vi. Tolong,
please. Anya penuh dengan kontol kamu sayang." Ih, baru dengar aku Anya
ngomong jorok gitu. Tapi kalau dipikir-pikir ngomong jorok di tempat
tidur tuh nafsuin loh.
Aku hanya bisa menjawab dengan mulut yang lebih bersuara ngos-ngosan,
merapat dan menumpuk dada Anya, lalu memacu dengan irama yang cepat.
Banyak sekali yang membikin aku terangsang berat. Selain Anya yang kini
merem dan menengadah ke atas, juga bunyi penyatuan kelaminku bisa
terdengar begitu. Lucu yah bunyinya. Lucu yah karena ada loh yang mirip
suara buang angin, hihihi. Tapi waktu itu, aku benar-benar nafsu
pokoknya. Tetap saja aku tidak mau kalah untuk terus menatapnya. Soalnya
kosa kata dan wajah Anya benar-benar sudah tidak karuan sekarang.
Antara bicara, desahan, desisan, raut wajah menangis yang diulang-ulang.
Soalnya hal yang sama juga kulakukan. Gilaaa, enak yah bersetubuh,
hihihihi. Bersenggama dengan saling menatap pasangan.
Ah, aku malu kasih lihat ekspresi mukaku. Aku menunduk di samping kuping
Anya. Aku mendesah kenikmatan di samping telingannya terpotong-potong
oleh desahan nafas yang memburu. "Alvi keluar sayang. Alvi sayang kamu."
Kenapa juga aku pilih kalimat itu di saat-saat seperti puncak birahiku.
Detik-detik yang membuat kesadaranku melemah dan melayang. Aku cuma
sempat dengar Anya berbisik pelan, "Keluarin Vi, iya basahin Anya dengan
punya kamu. Keluarin Vi, keluarin." Terus yang bersisa hanya desahan
nafas yang mulai tertib. Anya masih ingin tubuhku di atasnya dan
menikmati suasana ketelanjangan yang hening itu. Di keheningan itu, aku
masih sempat-sempatnya saja ingat, anjingku belum aku kasih makan. Eh,
kalau hamil bagaimana yah. Malas banget 'kan.
Aku mulai menidurkan diri di sampingnya, sebelum menarik selimut untuk
mengusir dingin. Anya seperti meringkuk ngantuk tersenyum. Aku mulai
melantur saja ah, pikirku, "Hmm... Nya, makasih, aku hutang banyak
perasaan untuk kebaikan budi kamu." Kukecup keningnya, tapi sebelum aku
sempat bicara lagi, Anya menutup bibirku, "Anya sayang kamu tau," sambil
memelukku tersenyum dan terpejam. Setelah bengong lama tentang bahuku
yang bena-benar pegal sekali, aku juga sempat memikirkan kebodohanku.
Kebodohanku yang berbeda dengan pria lain dalam memandang bagaimana
memperlakukan seorang wanita. Bahkan aku sendiri juga tidak tahu kalau
ditanya Anya masih perawan atau tidak. Jawabanku adalah, aku tidak
peduli. Kadang kupikir lucu juga, aku jarang berpikir jorok untuk
mendapat kehormatan meniduri Anya, tetapi Anya kini di sampingku
tertidur.
Mungkin ini hadiah atau justru malah sebuah karma. Aku tidak pernah
menemukan di pasar tentang kalung keberuntungan dalam hal bercinta.
Nasib cintaku dengan Anya bubar juga karena di luar faktor kami berdua.
Cerita cinta sederhana dari sebuah titik kehidupan, dan tidak berakhir
dengan happy ending. Tapi siapa juga yang butuh happy ending, karena aku
tahu kisahku tidak berakhir hanya karena kami tidak pacaran lagi. Walau
kadang aku ingin berhenti untuk percaya bahwa kata-kata "Aku sayang
kamu" adalah lebih tampak sebuah kalimat perpisahan yang tertunda. Aku
realistis dengan tidak bilang aku masih mencintainya, tidak. Aku cuma
bilang, aku sering memikirkannya di saat-saat tertentu. Bukan karena aku
meniduri dia, bukan juga karena dia model. Cuma dia yang menyakinkanku
dengan rentetan kalimat-kalimatnya, yang aku terjemahkan. Kira-kira
begini, "Kamu tuh nyenengin tau kalau lagi bodoh," atau "Alvi, sudah
terlalu banyak pria pintar di dunia ini, sampai mereka semua kadang
tidak tahu lagi bagaimana harus membodohkan dirinya." Atau kadang dia
senyum-senyum sok antusias berfilosofis, "Aku buat logika sederhana
(dengan mulut dimonyongkan, kesan angkuh sambil mengangkat telunjuknya
ke atas serasa dapat inspirasi surgawi). Untuk pintar kita harus bodoh
dulu, dan untuk menjadi bodoh kita yah harus pintar dulu. Berarti kamu
tuh..." katanya tersenyum menunggu komentarku. Aku teriak, "Tidaakkk..."
lalu berhambur lari menghilang bercanda. Aku mengenang hal-hal bodoh
seperti itu. Bahkan sampai sekarang, aku sering tersenyum dalam hati
bahwa menyenangkan juga jadi pria bodoh. Yang pasti itu melepaskan
segala beban tentang idealisme bagaimana menjadi seorang pria.
Bayangkan, saat di mall, ada wanita cantik dan aku ingin tahu saja
namanya. Aku bisa dengan bodohnya berkata, "Mbak, sorry saya ganggu,
saya tahu waktunya amat tidak tepat juga tidak sopan. Saya hanya ingin
berkenalan dengan cewek tapi tidak tahu caranya, punya ide? saya merasa.
(Aku jelaskan segala ketakutanku). Memang sebenarnya bagaimana sih cara
yang gentle untuk itu?" (Sempatkanlah tanya namanya). (Kuperhatikan
sekali kalau ada tanda-tanda penolakan, lebih baik lepaskanlah
permainannya). Lalu setelah selesai, kupuji-puji ide dia itu seburuk
apapun jawabannya, lalu aku bilang aku mau pulang. "Loh katanya mau
kenalan, kok pulang?" tanyanya. "Khan saya sudah tahu nama kamu," kataku
ngeluyur pergi sok manis. Memang cuma itu saja sih mauku, bukan mau
tidur dengan itu perempuan. Kalaupun tujuan kamu untuk itu yah aku
punyalah kesempatan lebih besar. Kelak aku ketemu lagi, nilai kesan
pertamaku itu sudah punya rating tinggi. Tebakanku saja sih. Kalau
ketemu lagi syukur, tidak ketemu ya sudah.